Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua puluh ini telah menempatkan kedudukan filsafat sebagai pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal, filsafat merupakan induk segala ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam sampai padaspesifikasinya yang amat khusus. Dewasa ini kita mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu perbintangan, tehnik nuklir dsb. yang keberadaannya tak mungkin kita pahami selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.
Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar mampu menggerakkan orang untuk merubah masyarakat. Sokrates (± 470-399 sM), Plato (± 427-347 sM) dan Aristoteles (± 384-322 sM), tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi adalah filsuf-filsuf besar yang meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih gagasan-gagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti idealisme, demokrasi, konstitusi, keadilan sosial, hak asasi manusia dsb. yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya. Dalam hal ini filsafat mempunyai arti sebagai pemikiran dasar yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, moralitas, sosialitas, bahkan juga keagamaan yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikata juga memberikan dasar-dasar pemikiran untuk pegangan hidup, yang disebut Weltanschauung, wawasan yang luas dan proyeksi-proyeksi ke masa depan yang jauh. Tetapi pengartian-pengartian filsafat yang demikian inilah yang mulai dikritik, pertama-pertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf sendiri, yang tidak puas dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang arogan, yang mau meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan sayapnya.
Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan konkrit dan sederhana, hal-hal praktis dalam kehidupan, termasuk juga bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya akan kurang mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan hal-hal yang umum bagi manusia, yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkut kehidupan bangsa manusia dan untuk tujuan global. pada mulanya di jaman Yunani, ketika filsafat lahir, hal-hal praktis setiap hari rupanya tidak merupakan persoalan yang perlu digumuli. Hal itu kiranya disebabkan karena sudah adanya kebiasaan-kebiasaan yang mantap dan diikuti seluruh masyarakat secara konvensionil tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Dengan demikian filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan batas, kemungkinan-kemungkinan yang ada di balik kehidupan yang biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat beberapa kritik filsafat untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman sekarang, khususnya dalam kaitannya dengan fungsi bahasa.
BEBERAPA KRITIK FILSAFAT
Kita tidak akan membuat analisis yang mendetil di sini, melainkan hanya sejumlah sentilan menyangkut kritik yang pernah dilontarkan terhadap filsafat, tatkala pengetahuan ini mulai menjauh dari kepentingan praktis. Hingga abad Pertengahan yakni sekitar abad duabelas dan tigabelas filsafat diterima dan diperkembangan di Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di Yunani, yakni sebagai “logos” yang menerangi dunia gelap, irasionil, penuh dengan kepercayaan-kepercayaan dan takhayul, pendek kata dunia “mitos”. Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah mahupun teologis. Tetapi pada waktu ini pengetahuan ilmiah masih amat dekat dengan pengetahuan teologis, karena belum adanya spesifikasi yang tegas. Ilmu kedokteran, perbintangan, pertanian dsb. masih diwarnai dengan keyakinan akan Allah sebagai penguasa dan penentu alam semesta, sehingga acuan teologis dan paparan Kitab Suci tidak dirasakan aneh atau bertentangandengan ilmu-ilmu dasar tsb. Bahkan para cendekiawan dengan tegas menyatakan bahawa iman kepercayaan akan Allah dan pengetahuan budi kita saling melengkapi. Terkenal misalnya moto yang diucapkan oleh Anselmus dari Canterbury (1033-1109), “credo ut intelligam” (“kepercayaan saya membuat saya mengerti”) dan “fides quaerens intellectum” (iman memberi terang akal budi). Dengan iklim seperti ini lajim bagi mereka melakukan pembuktian-pembuktian logis (akal budi) akan adanya Allah.
Memang ada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan filosofis mengenai apa yang disebut sebagai “universalia”, yakni konsep-konsep abstrak yang digunakan dalam pembicaraan filsafat. Kata-kata seperti “Hakekat” (essentia) dan “keberadaan” (existentia), “tindakan” (actus) dan “kemampuan” (potentia), atau “substansi” (substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan seperti “rahmat” (gratia), “kodrat” (natura), “kemanusiaan” (humanitas), “pribadi” (pesona), “nasib” (destinatio) atau “penyelenggaraan ilahi´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsuf sungguh-sungguh mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan yang berlaku umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak berisi, sebab selain individu-individu yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut kelompok ini, konsep-konsep abstrak itu hanyalah kata-kata kosong atau bunyi saja yang keluar dari mulut ketika orang mengucapkannya (flatus vocis).
Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan bahasa, tetapi yang baru menjadi pokok keprihatinan dan pembicaraan filsafat pada periode-periode berikutnya. Kendati pun demikian dari persoalan di atas orang sudah bisa merasakan adanya keengganan untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan istilah-istilah muluk, yang terlalu jauh dari pengalaman dan kenyataan konkrit sehari-hari. Maka pada akhir abad Pertengahan, Gulielmus dari Ockham (1285-1349) mencoba membuat pembatasan dalam hal pembentukan konsep-konsep. Konsep memang perlu untuk menunjuk kelompok atau golongan hal0hal yang dibicarakan itu, tetapi tak perlulah konsep-konsep dilipat gandakan. Prinsip ini dikenal sebagai “Gunting Ockham” (Ockham’s razor). Dengan demikian Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril menyangkut konsep-konsep tanpa makna.
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, sertakeengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan (applied sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman “Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.
Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah perkembangan ilmu-ilmu yang konkrit. Meskipun perkembangan ilmu-ilmu itu semakin banyak bidangnya dan semakin mendalam kajiannya, sehingga semakin luas jangkauan pengetahuan manusia, namun pada filsuf tetap berpendapat bahwa filsafat belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini dinyatakan terutama oleh eksistensialisme yang berkembang pada awal abad ke 20. Karl Jaspers (1883-1969), tokoh filsuf Jerman abad ke 20 ini, mengatakan dalam bukunya Philosophie (1967) bahwa meskipun ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna kehidupan tak pernah bisa dijawab oleh mereka. Kita tetap membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi eksistensi kita (Existenzerhellung), katanya.
sejarah perkembangan filsafat, sejarah filsafat ilmu, sejarah filsafat yunani, sejarah filsafat islam, sejarah filsafat pendidikan, sejarah filsafat barat, makalah sejarah filsafat, sejarah filsafat ilmu download
Tidak ada komentar:
Posting Komentar