Halaman

Minggu, 03 Februari 2013

SEJARAH FILSAFAT

Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua puluh ini telah menempatkan kedudukan ‎filsafat sebagai pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal, filsafat ‎merupakan induk segala ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang ilmu-ilmu ‎pengetahuan yang beragam sampai padaspesifikasinya yang amat khusus. Dewasa ini kita ‎mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu perbintangan, tehnik nuklir dsb. yang keberadaannya ‎tak mungkin kita pahami selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.‎

Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar mampu ‎menggerakkan orang untuk merubah masyarakat. Sokrates (± 470-399 sM), Plato (± 427-347 sM) ‎dan Aristoteles (± 384-322 sM), tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi ‎adalah filsuf-filsuf besar yang meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih ‎gagasan-gagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti idealisme, demokrasi, konstitusi, ‎keadilan sosial, hak asasi manusia dsb. yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya. Dalam hal ini ‎filsafat mempunyai arti sebagai pemikiran dasar yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, ‎moralitas, sosialitas, bahkan juga keagamaan yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan ‎banyak orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikata juga memberikan dasar-dasar pemikiran ‎untuk pegangan hidup, yang disebut Weltanschauung, wawasan yang luas dan proyeksi-proyeksi ke ‎masa depan yang jauh. Tetapi pengartian-pengartian filsafat yang demikian inilah yang mulai dikritik, ‎pertama-pertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf sendiri, yang tidak puas ‎dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang ‎arogan, yang mau meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan sayapnya.‎

Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan konkrit dan sederhana, hal-hal praktis dalam ‎kehidupan, termasuk juga bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya akan ‎kurang mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan hal-hal yang umum ‎bagi manusia, yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkut kehidupan bangsa manusia dan ‎untuk tujuan global. pada mulanya di jaman Yunani, ketika filsafat lahir, hal-hal praktis setiap hari ‎rupanya tidak merupakan persoalan yang perlu digumuli. Hal itu kiranya disebabkan karena sudah ‎adanya kebiasaan-kebiasaan yang mantap dan diikuti seluruh masyarakat secara konvensionil tanpa ‎mempersoalkannya lebih lanjut. Dengan demikian filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya ‎untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan batas, kemungkinan-kemungkinan yang ‎ada di balik kehidupan yang biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat beberapa kritik filsafat ‎untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman sekarang, khususnya dalam kaitannya ‎dengan fungsi bahasa.‎

BEBERAPA KRITIK FILSAFAT

Kita tidak akan membuat analisis yang mendetil di sini, melainkan hanya sejumlah sentilan ‎menyangkut kritik yang pernah dilontarkan terhadap filsafat, tatkala pengetahuan ini mulai menjauh ‎dari kepentingan praktis. Hingga abad Pertengahan yakni sekitar abad duabelas dan tigabelas ‎filsafat diterima dan diperkembangan di Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di Yunani, yakni ‎sebagai “logos” yang menerangi dunia gelap, irasionil, penuh dengan kepercayaan-kepercayaan dan ‎takhayul, pendek kata dunia “mitos”. Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah mahupun ‎teologis. Tetapi pada waktu ini pengetahuan ilmiah masih amat dekat dengan pengetahuan teologis, ‎karena belum adanya spesifikasi yang tegas. Ilmu kedokteran, perbintangan, pertanian dsb. masih ‎diwarnai dengan keyakinan akan Allah sebagai penguasa dan penentu alam semesta, sehingga ‎acuan teologis dan paparan Kitab Suci tidak dirasakan aneh atau bertentangandengan ilmu-ilmu ‎dasar tsb. Bahkan para cendekiawan dengan tegas menyatakan bahawa iman kepercayaan akan ‎Allah dan pengetahuan budi kita saling melengkapi. Terkenal misalnya moto yang diucapkan oleh ‎Anselmus dari Canterbury (1033-1109), “credo ut intelligam” (“kepercayaan saya membuat saya ‎mengerti”) dan “fides quaerens intellectum” (iman memberi terang akal budi). Dengan iklim seperti ini ‎lajim bagi mereka melakukan pembuktian-pembuktian logis (akal budi) akan adanya Allah.‎

Memang ada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan filosofis mengenai apa yang ‎disebut sebagai “universalia”, yakni konsep-konsep abstrak yang digunakan dalam pembicaraan ‎filsafat. Kata-kata seperti “Hakekat” (essentia) dan “keberadaan” (existentia), “tindakan” (actus) dan ‎‎“kemampuan” (potentia), atau “substansi” (substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang berkaitan ‎dengan keagamaan seperti “rahmat” (gratia), “kodrat” (natura), “kemanusiaan” (humanitas), “pribadi” ‎‎(pesona), “nasib” (destinatio) atau “penyelenggaraan ilahi´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsuf ‎sungguh-sungguh mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan yang berlaku ‎umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak ‎berisi, sebab selain individu-individu yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut kelompok ini, ‎konsep-konsep abstrak itu hanyalah kata-kata kosong atau bunyi saja yang keluar dari mulut ketika ‎orang mengucapkannya (flatus vocis).‎

Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan bahasa, tetapi yang baru menjadi ‎pokok keprihatinan dan pembicaraan filsafat pada periode-periode berikutnya. Kendati pun demikian ‎dari persoalan di atas orang sudah bisa merasakan adanya keengganan untuk mengadakan ‎pembicaraan-pembicaraan dengan istilah-istilah muluk, yang terlalu jauh dari pengalaman dan ‎kenyataan konkrit sehari-hari. Maka pada akhir abad Pertengahan, Gulielmus dari Ockham (1285-‎‎1349) mencoba membuat pembatasan dalam hal pembentukan konsep-konsep. Konsep memang ‎perlu untuk menunjuk kelompok atau golongan hal0hal yang dibicarakan itu, tetapi tak perlulah ‎konsep-konsep dilipat gandakan. Prinsip ini dikenal sebagai “Gunting Ockham” (Ockham’s razor). ‎Dengan demikian Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril menyangkut ‎konsep-konsep tanpa makna.‎

Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, sertakeengganan terhadap ‎kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan ‎‎(applied sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-‎‎1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, ‎berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi ‎penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang ‎benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai ‎mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta ‎mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah ‎Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian ‎sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme ‎Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada ‎pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman ‎‎“Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini ‎dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, ‎melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap ‎relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.‎

Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah perkembangan ilmu-ilmu yang ‎konkrit. Meskipun perkembangan ilmu-ilmu itu semakin banyak bidangnya dan semakin mendalam ‎kajiannya, sehingga semakin luas jangkauan pengetahuan manusia, namun pada filsuf tetap ‎berpendapat bahwa filsafat belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini dinyatakan ‎terutama oleh eksistensialisme yang berkembang pada awal abad ke 20. Karl Jaspers (1883-1969), ‎tokoh filsuf Jerman abad ke 20 ini, mengatakan dalam bukunya Philosophie (1967) bahwa meskipun ‎ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna kehidupan tak pernah bisa dijawab oleh ‎mereka. Kita tetap membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari ‎kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi eksistensi kita (Existenzerhellung), katanya.‎



sejarah perkembangan filsafat, sejarah filsafat ilmu, sejarah filsafat yunani, sejarah filsafat islam, sejarah filsafat pendidikan, sejarah filsafat barat, makalah sejarah filsafat, sejarah filsafat ilmu download

Tidak ada komentar:

Posting Komentar