Halaman

Minggu, 03 Februari 2013

FILSAFAT PANCASILA

Pengertian Filsafat Pancasila Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.

Filsafat Pancasila Asli
Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep humanisme, rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme

Filsafat Pancasila versi Soekarno
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Sukarno sejak 1955 sampai berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal dari Indonesia, “Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak pernah menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.

Filsafat Pancasila versi Soeharto
Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan Moerdiono.

Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.


pengertian filsafat pancasila, makalah filsafat pancasila, artikel filsafat pancasila, makalah pancasila sebagai filsafat, pancasila sebagai sistem filsafat, filsafat pancasila pdf, identitas nasional, pengertian filsafat

FILSAFAT PENDIDIKAN

Filsafat pendidikan perlu dipelajari sebab, dengan filsafat kita bisa memilih teori dan metode yang sesui, dengan filsafat kita bisa lebih kritik dalam ilmu, dan bisa memahai konsep ilmu dengan jelas, dan sebagainya

Peran Filsafat dalam Pendidikanperanan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan,Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.

Manfaat PendidikanManfaat pendidikan , Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
Tujuan pendidikan, ecara umum pendidikan kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang . Secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk :
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan proplem yang dihadapi.
merancang pendidikan agar fungsional bagi kehidupan peserta didik dalam menghadapi kehidupan dimas mendatang.
memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pedidikan berbasis luas.
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Isi pendidikan, mencerdaskan warga Negara sesui dengan potensi atau pirah manusia

Funfsi Filsafat PendidikanMemahami persoalan pendidikan secara umum,merumuskanya dalam gambaran pokok sebagai pelengkap yang ada dan hubungannya dengan factor lain.
Penetu arah dan pedoman
Memberi norma dan pertimbangan
Filsafat memberikan landasan yang mendasar bagi perkembangan ilmu
Ilmu memberikan bahan untuk berbagai pemikiran para filsuf.
Pengembangan Kurikulum merupakan salah satu aplikasi dari ilmu yang telah dikaji Sehingga harapan terbesar semuanya dapat membantu manusia dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.



makalah filsafat pendidikan, pengertian filsafat pendidikan, filsafat pendidikan pdf, filsafat pendidikan islam, filsafat pendidikan matematika, filsafat pendidikan idealisme, filsafat pendidikan pancasila, filsafat hukum

FILSAFAT ILMU


Filsafat ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaiknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kelahiran filsafat di Yunani menunjukkan pola pemikiran bangsa Yunani dari pandangan mitologi akhirnya lenyap dan pada gilirannya rasiolah yang dominan.
Perubahan dari pola pikir mite-mite kerasio membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya, yang selama itu ditakuti kemudian didekati dan bahkan bisa dikuasai. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik alam semesta maupun pada manusia sendiri.

B. Objek Filsafat
    1.Objek Material filsafat
   Yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu atau hal yang di selidiki, di Pandang atau di sorot oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup apa saja baik hal-hal yang konkrit ataupun yang abstrak.
Menurut Drs. H.A.Dardiri bahwa objek material adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu:

    Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya.
    Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak (theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan alam (kosmologi).

    2. Objek Formal filsafat
   Yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu di sorot.
Contoh : Objek materialnya adalah manusia dan manusia ini di tinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.


makalah filsafat ilmu, pengertian filsafat ilmu, filsafat ilmu pdf, buku filsafat ilmu, makalah filsafat ilmu di bidang pendidikan, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat ilmu pendidikan, pengertian filsafat

FILSAFAT ISLAM

Ketika ditanya apa itu filsafat, seorang mahasiswa menjawab singkat: filsafat itu mencari kebenaran. Dengan cara berpikir dan bertanya terus-menerus.Tentang segala hal: dari persoalan gajah sampai persoalan semut, dari soal hukum dan politik hingga soal moral dan metafisika,dari soal galaksi sampai soal bakteri. Kalau begitu, berarti filsafat itu ada dimana-mana. Memang benar, filsafat ada di Barat dan di Timur. Ada filsafat Yunani, filsafat India, filsafat Cina, filsafat Kristen, dan juga filsafat Islam. Inilah makna filsafat sebagai kearifan (sophia) dan pengetahuan (sapientia) yang dicapai manusia dengan akal pikirannya.

Tiga Istilah
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakaiagar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi berasal dari dan bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah)–yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.

Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian makaiatelah mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.

Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz ‘hikmah’ telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan Syari‘at Islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.

Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi.

Sekelompok  cendekiawan bernama‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan: ‘Filsafat itu berangkat darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-‘ulum ... wa akhiruha al-qawl wal-‘amal  bi-ma yuwafiqul-‘ilm)’.

Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ‘ilmu-ilmu orang zaman dulu’. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.

Tiga Perspektif
Terdapat beberapa pandangan mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertamadipegang oleh mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: ‘It is Greek philosophy in Arabic garb’, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamsonyang  lebih suka menyebutnya sebagai ‘filsafat [berbahasa] Arab’ (Arabic Philosophy).Dibalik pandangan ini terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil danmemelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu,sebagai “jembatan peradaban” (Kulturvermittler)dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.

Pandangan kedua menganggap filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisiYahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides: “Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah ini berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.”

Dua sudut pandang tersebut di atas dikritik tajam antara lain oleh Seyyed Hossein Nasr. Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, lanjut Nasr, para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang: Islamic philosophy has remained a major intellectual activity and a living intelllectual tradition within the citadel of Islam to this day, di pusat-pusat keilmuan di Dunia Islam.

Yang ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan,tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat? Munculnya kelompok  Khawarij, Syi‘ah,Mu‘tazilah dan lain-lain,yang melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Contohnya sepucuk surat dari al-Hasan al-Basri kepada Khalifah perihal qadha dan qadar, dimana beliau menangkis argumen kaum fatalis maupun argumen rasionalis sekular. Perdebatan seru segera menyusul di abad-abad berikutnya seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta keazalian dan keabadian alam semesta.

Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan Açıkgenç. Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman,filsafat Islam adalah nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan,berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dulu sampai sekarang ini. Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua (framed within the language of Islam, within the cultural context of Islamic society). Artinya, filsafat Islam itu luas dan kaya.

Corak Filsafat

Masih menurut Oliver Leaman, filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis- analitis,terus hidup dan penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, akan tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik maupun modern: MuchIslamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion of new technical representaions of existing issues .... new traditions of thinking about problems and resolving difficult conceptual issues(Lihat: History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996, hlm. 1-10).  

Pernyataan serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir seperti Ibrahim Madkour, Musthafa ‘Abdur Raziq, dan Syekh ‘Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu ‘Islami’ dari empat segi: pertama, dari sisi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari sudut faktor-faktor pemicu serta tujuan-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya hidup di bawah naungan kekuasaan Islam (Lihat: I. Madkour, al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa tathbiquhu, hlm.19).

Memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekadar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasif-reseptif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibn Sina, al-Baghdadi dan ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat.

Selain berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, mereka berupaya mengislamkannya. Maka yang terjadi adalah islamisasi filsafat secara negatif (pengenyahan unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan unsur-unsur Islami).

KontroversiFilsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya.

Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari qiyamat. Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: ‘Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan Syari‘ah suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan.’

Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, akan tetapi[akubertanya] supaya hatiku tentram (mantap).” Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan. (****)



makalah filsafat islam, tokoh filsafat islam, filsafat islam ibnu sina, pengertian filsafat islam, filsafat islam download, filsafat pendidikan islam, sejarah filsafat islam, filsafat islam pdf

SEJARAH FILSAFAT

Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua puluh ini telah menempatkan kedudukan ‎filsafat sebagai pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal, filsafat ‎merupakan induk segala ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang ilmu-ilmu ‎pengetahuan yang beragam sampai padaspesifikasinya yang amat khusus. Dewasa ini kita ‎mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu perbintangan, tehnik nuklir dsb. yang keberadaannya ‎tak mungkin kita pahami selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.‎

Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar mampu ‎menggerakkan orang untuk merubah masyarakat. Sokrates (± 470-399 sM), Plato (± 427-347 sM) ‎dan Aristoteles (± 384-322 sM), tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi ‎adalah filsuf-filsuf besar yang meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih ‎gagasan-gagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti idealisme, demokrasi, konstitusi, ‎keadilan sosial, hak asasi manusia dsb. yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya. Dalam hal ini ‎filsafat mempunyai arti sebagai pemikiran dasar yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, ‎moralitas, sosialitas, bahkan juga keagamaan yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan ‎banyak orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikata juga memberikan dasar-dasar pemikiran ‎untuk pegangan hidup, yang disebut Weltanschauung, wawasan yang luas dan proyeksi-proyeksi ke ‎masa depan yang jauh. Tetapi pengartian-pengartian filsafat yang demikian inilah yang mulai dikritik, ‎pertama-pertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf sendiri, yang tidak puas ‎dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang ‎arogan, yang mau meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan sayapnya.‎

Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan konkrit dan sederhana, hal-hal praktis dalam ‎kehidupan, termasuk juga bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya akan ‎kurang mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan hal-hal yang umum ‎bagi manusia, yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkut kehidupan bangsa manusia dan ‎untuk tujuan global. pada mulanya di jaman Yunani, ketika filsafat lahir, hal-hal praktis setiap hari ‎rupanya tidak merupakan persoalan yang perlu digumuli. Hal itu kiranya disebabkan karena sudah ‎adanya kebiasaan-kebiasaan yang mantap dan diikuti seluruh masyarakat secara konvensionil tanpa ‎mempersoalkannya lebih lanjut. Dengan demikian filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya ‎untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan batas, kemungkinan-kemungkinan yang ‎ada di balik kehidupan yang biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat beberapa kritik filsafat ‎untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman sekarang, khususnya dalam kaitannya ‎dengan fungsi bahasa.‎

BEBERAPA KRITIK FILSAFAT

Kita tidak akan membuat analisis yang mendetil di sini, melainkan hanya sejumlah sentilan ‎menyangkut kritik yang pernah dilontarkan terhadap filsafat, tatkala pengetahuan ini mulai menjauh ‎dari kepentingan praktis. Hingga abad Pertengahan yakni sekitar abad duabelas dan tigabelas ‎filsafat diterima dan diperkembangan di Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di Yunani, yakni ‎sebagai “logos” yang menerangi dunia gelap, irasionil, penuh dengan kepercayaan-kepercayaan dan ‎takhayul, pendek kata dunia “mitos”. Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah mahupun ‎teologis. Tetapi pada waktu ini pengetahuan ilmiah masih amat dekat dengan pengetahuan teologis, ‎karena belum adanya spesifikasi yang tegas. Ilmu kedokteran, perbintangan, pertanian dsb. masih ‎diwarnai dengan keyakinan akan Allah sebagai penguasa dan penentu alam semesta, sehingga ‎acuan teologis dan paparan Kitab Suci tidak dirasakan aneh atau bertentangandengan ilmu-ilmu ‎dasar tsb. Bahkan para cendekiawan dengan tegas menyatakan bahawa iman kepercayaan akan ‎Allah dan pengetahuan budi kita saling melengkapi. Terkenal misalnya moto yang diucapkan oleh ‎Anselmus dari Canterbury (1033-1109), “credo ut intelligam” (“kepercayaan saya membuat saya ‎mengerti”) dan “fides quaerens intellectum” (iman memberi terang akal budi). Dengan iklim seperti ini ‎lajim bagi mereka melakukan pembuktian-pembuktian logis (akal budi) akan adanya Allah.‎

Memang ada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan filosofis mengenai apa yang ‎disebut sebagai “universalia”, yakni konsep-konsep abstrak yang digunakan dalam pembicaraan ‎filsafat. Kata-kata seperti “Hakekat” (essentia) dan “keberadaan” (existentia), “tindakan” (actus) dan ‎‎“kemampuan” (potentia), atau “substansi” (substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang berkaitan ‎dengan keagamaan seperti “rahmat” (gratia), “kodrat” (natura), “kemanusiaan” (humanitas), “pribadi” ‎‎(pesona), “nasib” (destinatio) atau “penyelenggaraan ilahi´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsuf ‎sungguh-sungguh mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan yang berlaku ‎umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak ‎berisi, sebab selain individu-individu yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut kelompok ini, ‎konsep-konsep abstrak itu hanyalah kata-kata kosong atau bunyi saja yang keluar dari mulut ketika ‎orang mengucapkannya (flatus vocis).‎

Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan bahasa, tetapi yang baru menjadi ‎pokok keprihatinan dan pembicaraan filsafat pada periode-periode berikutnya. Kendati pun demikian ‎dari persoalan di atas orang sudah bisa merasakan adanya keengganan untuk mengadakan ‎pembicaraan-pembicaraan dengan istilah-istilah muluk, yang terlalu jauh dari pengalaman dan ‎kenyataan konkrit sehari-hari. Maka pada akhir abad Pertengahan, Gulielmus dari Ockham (1285-‎‎1349) mencoba membuat pembatasan dalam hal pembentukan konsep-konsep. Konsep memang ‎perlu untuk menunjuk kelompok atau golongan hal0hal yang dibicarakan itu, tetapi tak perlulah ‎konsep-konsep dilipat gandakan. Prinsip ini dikenal sebagai “Gunting Ockham” (Ockham’s razor). ‎Dengan demikian Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril menyangkut ‎konsep-konsep tanpa makna.‎

Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, sertakeengganan terhadap ‎kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan ‎‎(applied sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-‎‎1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, ‎berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi ‎penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang ‎benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai ‎mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta ‎mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah ‎Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian ‎sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme ‎Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada ‎pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman ‎‎“Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini ‎dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, ‎melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap ‎relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.‎

Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah perkembangan ilmu-ilmu yang ‎konkrit. Meskipun perkembangan ilmu-ilmu itu semakin banyak bidangnya dan semakin mendalam ‎kajiannya, sehingga semakin luas jangkauan pengetahuan manusia, namun pada filsuf tetap ‎berpendapat bahwa filsafat belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini dinyatakan ‎terutama oleh eksistensialisme yang berkembang pada awal abad ke 20. Karl Jaspers (1883-1969), ‎tokoh filsuf Jerman abad ke 20 ini, mengatakan dalam bukunya Philosophie (1967) bahwa meskipun ‎ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna kehidupan tak pernah bisa dijawab oleh ‎mereka. Kita tetap membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari ‎kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi eksistensi kita (Existenzerhellung), katanya.‎



sejarah perkembangan filsafat, sejarah filsafat ilmu, sejarah filsafat yunani, sejarah filsafat islam, sejarah filsafat pendidikan, sejarah filsafat barat, makalah sejarah filsafat, sejarah filsafat ilmu download

FILSAFAT CINTA

Cinta adalah suatu perjalanan, di dalamnya terdapat banyak hal, pengalaman, dan kenangan. Cinta itu rumit, berbelit belit dan membingungkan. Namun banyak pula jiwa yang terselamatkan karena cinta. Cinta itu membahagiakan dan dibahagiakan. Memberi dan diberi. Mendoakan orang yang mencintaimu, itu ketulusan. Mendoakan orang yang menyakitimu, itu kedewasaan.Karena kehidupan baru saja dimulai, sesaat setelah kita saling jatuh cinta dan melukiskan senja di dunia. Selamat menjelajahi lautan cinta

filsafat kehidupan, filsafat cinta plato, filsafat hidup, kata mutiara cinta, filsafat manusia, filsafat islam, filsafat ilmu, filsafat ilmu pengetahuan